Terjadi perbedaan pendapat mengenai manfaat susu kambing sebagai asupan kepada bayi-bayi, di antaranya kelompok medis yang kontra dengan penggunaan susu kambing mentah (belum diolah dan dipasteurisasi) kepada bayi-bayi adalah sebuah artikel pada Journal of the American Academy of Pediatrics, PEDIATRICS, edisi 15 Maret 2010, yang telah memberitakan tentang penelitian tentang dampak pemberian susu kambing segar yang belum diolah terhadap bayi. Tim ini merupakan gabungan dari Southern Illinois University School of Medicine dan Washington University School of Medicine, yang terdiri dari Sangita Basnet, M.D., F.A.A.P., Michael Schneider, M.D., Gurpreet Mander, M.D., F.A.A.P., Avihu Gazit, M.D., Allan Doctor, M.D. dan berikut uraian penelitiannya:
Negara-negara maju tidak kekurangan makanan yang bernutrisi; namun, bayi mungkin masih dapat menderita akibat gizi yang kurang memadai dan tidak sesuai karena kepercayaan orang tuanya dan budaya. Selain itu, akses internet yang mudah telah membuat para wanita memperoleh informasi yang salah berkenaan makanan alternatif bagi bayi-bayi mereka, seperti susu kambing mentah yang belum diolah, yang mungkin bisa menyebabkan kondisi kesehatan yang parah dan bahkan kematian.
STUDI KASUS
Seorang bayi berkulit putih berusia 5 bulan yang mengidap CHARGE (Coloboma, Heart defect, Atresia choanae, Retarded growth and development, Genital hypoplasia, Ear anomalies/deafness) yang berasal dari komunitas Amish telah dirawat di ruang PICU setelah ia mendapat gagal.
Sebelumnya, ia sempat dalam satu hari mengalami peningkatan kerja pernafasan dan kesadarannya berada pada tingkat depresi setelah sebelumnya menderita diare selama 4 hari. Riwayat medisnya yang terdahulu diketahui bayi tersebut sempat mendapat perbaikan pada Tracheoesophageal fistula (semacam gangguan pada saluran tenggorokan – antara esophagus dan trachea) yang diganti dengan penggunaan Gastrostomy tube (G-tube atau Feeding tube), yaitu semacam alat untuk menyalurkan makanan bagi pasien yang tidak bisa menelan makanan. Selain itu bayi tersebut diketahui pernah mendapat bermacam pelebaran pada daerah tenggorokan (multiple esophageal dilatations), dan perbaikan pada Choanal atresia (daerah saluran pernafasan hidung).
Dari riwayat nutrisinya terungkap bahwa bayi tersebut sejak awal diberikan asupan air susu ibu melalui G-tube. Namun, 3-4 minggu sebelum dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit), ia secara eksklusif diberi susu kambing mentah (belum diolah) karena ibunya tidak mampu untuk memompa air susu dengan volume yang cukup.
TINJAUAN
Sebagai dampak dari kemajuan teknologi informasi, sangat mudah bagi para orang tua untuk membaca dan menjadi terpengaruh oleh informasi-informasi salah dan berpotensi membahayakan.
Misalnya saja hasil pencarian di Google dengan kata kunci “susu kambing” – “bayi” – “keuntungan” dihasilkan sebanyak 9.490 item; halaman-halaman web ini menyediakan informasi seperti “susu kambing adalah asupan yang ideal bagi para bayi... Menguntungkan untuk pengobatan asma, eksim, migrain, sakit perut, keluhan hati dan berdahak, susu kambing juga membantu bayi yang menderita perut mulas, muntah-muntah dan kurang berat badan.”[5]
Susu kambing mengandung 50 mg sodium dan 3,56 g protein per 100 mL, kira-kira 3 kali lebih banyak dibandingkan air susu manusia (17 mg dan 1,03 g per 100 mL).[6] Perkiraan kebutuhan akan sodium dan protein pada bayi yang berusia 6 bulan adalah 100-200 mg/hari dan 9-11 g/hari.[7]
Bayi yang menjadi kajian dalam penelitian ini telah menerima sodium 500 mg/hari dan protein 30 g/hari, dengan total asupan 32 ons susu kambing setiap harinya. Ginjal yang belum sempurna pada bayi yang masih sangat muda masih sulit untuk menangani produk makanan yang membutuhkan kinerja ginjal yang tinggi.[8]
Laju perkembangan atau kesempurnaan kapasitas ekskresi (proses pembuangan zat yang tidak berguna) sodium lebih lambat daripada laju filtrasi (proses pemisahan zat berguna dan tidak berguna) glomerulus dan kapasitasnya tidak akan mencapai penuh hingga tahun kedua kehidupannya.[9]
Oleh karena itu, bayi yang diberi susu kambing segar, beresiko substantif untuk hypernatremia (mirip dehidrasi, kekurangan air bebas dalam tubuh) dan azotemia (kondisi abnormal karena kelebihan kadar nitrogen), terutama dalam menghadapi masalah dehidrasi, yang pada gilirannya akan berakibat pada patologi sistem pusat saraf secara umum, termasuk kelainan pada otak (encephalopathy), perdarahan pada otak (intraparenchymal hemorrhage), atau berpengaruh terhadap kadar trombosit.[10]
Metabolisme kelebihan kadar asam dalam darah (acidosis) telah ditemukan pada bayi yang diberi asupan susu kambing yang belum dicairkan.[11-13] Pasien yang menjadi penelitian di sini memperlihatkan metabolisme asidosis yang parah dengan menambah proses deteksi diagnosis (anion gap), yang tampak dari adanya dehidrasi dan hyperchloremia (kadar ion klorida yang abnormal dalam darah, normalnya antara 97 to 107 mEq/L).
Pemuatan protein yang berlebihan dapat menyebabkan penimbunan asam nonvolatile (asam yang diekskresikan di ginjal) dan urea (zat yang ada di ginjal yang penting dalam metabolisme tubuh),[14,15] hal ini telah memperlihatkan adanya kasus meningkatnya metabolisme asidosis disertasi juga dengan meningkatnya asupan yang berprotein.[16]
Alasan lain bagi pihak yang menganjurkan mengkonsumsi susu kambing segar bagi para bayi adalah efek alerginya lebih rendah dari susu sapi serta menjadi pengganti yang cocok bagi bayi yang alergi terhadap susu sapi. Namun bagaimanapun juga, bukti telah memerlihatkan kebanyakan para bayi yang alergi terhadap susu sapi juga alergi terhadap susu kambing. Studi-studi di laboratorium dengan media in vitro (non organik) telah memperlihatkan bahwa terdapat reaksi yang bersilangan atau berlawanan secara luas (extensive cross-reactivity) dari sera (bentuk jamak dari serum, plasma darah tanpa fibrinogen) pada individu yang alergi terhadap susu sapi dengan protein yang ditemukan dalam susu kambing.[17-19]
Dalam sebuah studi, 26 anak dengan immunoglobulin E (salah satu kelas antibodi – sistem kekebalan) dengan mediasi alergi susu sapi, ditemukan respon positif pada uji kulit terhadap susu kambing, dan 24 dari 26 anak ditemukan positif uji tertutup (double-blind – seperti uji tiga produk yang tidak diperlihatkan mereknya kepada peserta uji), uji persepsi (placebo-controlled yang menimbulkan efek placebo – pengobatan melalui pengubahan atau manipulasi persepsi pasien), dan tantangan rasa makanan dengan susu kambing segar.[20]
Ditemukan pula laporan kasus reaksi anaphylactic (reaksi hipersensitif) setelah mengkonsumsi susu kambing komersial yang diperuntukkan bagi bayi dengan disertai dokumentasi alergi susu sapi.[21]
Lebih lanjut, para bayi dan anak-anak kecil diduga memiliki tanda-tanda, gejala-gejala dan serologi positif terhadap susu kambing tanpa disertai alergi terhadap susu sapi.[22-25]
Dalam studi terdahulu (retrospective study), anak-anak memperlihatkan reaksi alergi yang parah, termasuk anaphylaxis, setelah mengkonsumsi produk-produk susu kambing tetapi anak-anak tersebut punya tingkat toleransi terhadap produk-produk susu sapi.[26]
Kekurangan asam folat disertai anemia pada bayi-bayi yang diberikan asupan formula susu kambing buatan sendiri, telah diuraikan sebelumnya.[27,28]
Dalam faktanya, “Anemia Susu Kambing” (goat’s milk anemia) adalah nama yang diberikan pada kasus anemia macrocytic hyperchromic megaloblastic yang diobservasi pada bayi-bayi yang diberikan asupan susu kambing di Eropa pada era 1920-an dan 1930-an.[29]
Anemia dianggap lebih berbahaya dibandingkan pemberian susu sapi secara ekslusif dan dapat disembuhkan dengan memberi suplemen ekstrak hati. Konsentrasi asam folat dalam susu kambing adalah 6 g/L dibandingkan dengan air susu ibu yang mengandung asam folat 50 g/L.[30]
Bayi-bayi yang berusia lebih muda dari 6 bulan membutuhkan asam folat 65 g/hari, dan yang direkomendasikan per harinya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.[30]
Terdapat laporan-laporan infeksi seperti demam Q-fever, toxoplasmosis (penyakit akibat parasit) dan brucellosis (penyakit akibat mengkonsumsi susu dan makanan yang tidak steril) yang diasosiasikan dengan pemberian asupan susu kambing mentah.[31-33]
Mengkonsumsi susu kambing yang belum dipasteurisasi juga telah mengimplikasikan pertumbuhan bakteri Escherichia coli O157:H7 yang diasosiasikan dengan sindrom hemolytic uremic (semacam diare berdarah).[34,35]
Meskipun susu kambing mentah merupakan media yang telah terbukti sebagai pembawa patogen (beresiko infeksi), tetapi keyakinan tetap beranggapan bahwa produk perusahaan susu kambing mentah yang dianggap lebih menyehatkan ataupun susu kambing tersebut telah dipasteurisasi, tetap saja minim manfaat dan bahkan beresiko.[5]
Meskipun par abayi seharusnya tidak boleh diberi asupan yang tidak dimodifikasi, susu kambing mentah, namun formula susu kambing bagi para bayi mungkin sebagai alternatif yang cocok sebagai pengganti formula susu sapi. Sebuah studi yang dilakukan di Selandia Baru memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam berat badan antara bayi-bayi yang lahir dengan sehat dengan yang diberikan formula susu kambing.[36]
62 bayi secara acak dipilih untuk diberikan asupan dengan formula susu kambing atau susu sapi dalam rentang usia mulai 72 jam setelah kelahiran hinggan 168 hari. Tidak ada perbedaan signifikan secara statistik pada rata-rata berat badan antara kelompok bayi yang diberikan formula susu kambing dengan yang diberikan formula susu sapi (309 g [95% confidence interval: _49 to 668]).
Meskipun para bayi yang diberi asupan formula susu kambing mempunyai frekuensi buang air besar yang lebih tinggi (2,4 lawan 1,7 buang air besar per hari), kedua formula memperlihatkan konsistensi buang air besar yang sama dan begitupun dengan periode menangis, telah dianggap aman dan dapat ditoleransi. Namun bagaimanapun juga, sang penulis tetap saja memperingatkan pemberian asupan formula susu kambing kepada para bayi didokumentasikan alergi terhadap formula susu sapi untuk bayi.
KESIMPULAN PARA PENELITI
Asupan susu kambing mentah yang belum diolah atau dimodifikasi secara signifikan dapat menyebabkan kondisi kesehatan yang menurun dan bahkan kematian bagi para bayi, termasuk ketidakseimbangan elektrolit, metabolisme asidosis (kelebihan kadar asam dalam darah), kekurangan asam folat (folate deficiency), dan sistem imunitas (species specific and nonspecific antigenicity). Susu kambing yang belum dipasteurisasi mempunyai tambahan resiko infeksi. Sayangnya, informasi yang mendukung praktik ini telah banyak beredar di internet dan di beberapa budaya tertentu.
CATATAN
Artikel ini merupakan terjemahan dari sebuah artikel ilmiah di jurnal resmi pediatrik Amerika Serikat yang lebih lanjut dapat dilihat di: http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/125/4/e973
REFERENSI
- Caruso JM, Brown WD. Extrapontine myelinolysis with involvement of the hippocampus in three children with severe hypernatremia. J Child Neurol. 1999;14(7): 428-433
- Brown WD. Osmotic demyelination disorders: central pontine and extrapontine myelinolysis. Curr Opin Neurol. 2000;13(6):691-697
- Go M, Amino A, Shindo K, Tsunoda S, Shiozawa Z. A case of central pontine myelinolysis during rapid correction of hypernatremia [in Japanese]. Rinsho Shinkeigaku. 1994;34(11): 1130-1135
- Blackham RJ. Goat’s milk for infants. Br Med J. 1906;2(2382):452-453
- Tracey JB. Goat’s milk for infants. Available at: www.healthnews-nz.com/infants.html. Accessed: March 26, 2009
- Selected nutrients in human milk, various forms of cow milk and goat milk [Table F4]. In: Kleinman RE, ed. Pediatric Nutrition Handbook. 6th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics, 2009:1265
- Herd WC. Nutritional needs. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier; 2007:209-212
- Fomon SJ, Ziegler EE. Renal solute load and potential renal solute load in infancy. J Pediatr. 1999;134(1):11-14
- Aperia A, Broberger O, Thodenius K, Zetterstrom R. Development of renal control of salt and fluid homeostasis during the first year of life. Acta Paediatr Scand. 1975;64(3):393-398
- Han BK, Lee M, Yoon HK. Cranial ultrasound and CT findings in infants with hypernatremic dehydration. Pediatr Radiol. 1997;27(9):739-742
- Jorquera P, Wu J, Bockenhauer D. Nonanion gap metabolic acidosis in a newborn. Curr Opin Pediatr. 1999;11(2):169-173
- Chapman KA, Ganesh J, Ficicioglu C. A falsepositive newborn screening result: goat’s milk acidopathy. Pediatrics. 2008;122(1):210-211
- Hendriksz CJ, Walter JH. Feeding infant’s with undiluted goat’s milk can mimic tyrosinaemia type 1. Acta Paediatr. 2004;93(4):552-553
- Kildeberg P. Disturbances of hydrogen ion balance occurring in premature infants. Acta Paediatr. 1964;53:517-526
- Kerpel-Fronius E, Heim T, Sulyok E. The development of the renal acidifying processes and their relation to acidosis in low-birthweight infants. Biol Neonate. 1970;15(34):156-168
- Svenningsen NW, Lindquist B. Incidence of metabolic acidosis in term, preterm and small-for-gestational age infants in relation to dietary protein intake. Acta Paediatr Scand. 1973;62(1):1-10
- Gjesing B, Osterballe O, Schwartz B, Wahn U, Lowenstein H. Allergen-specific IgE antibodies against antigenic components in cow milk and milk substitutes. Allergy. 1986; 41(1):51-56
- Spuergin P, Walter M, Schiltz E, Deichmann K, Forster J, Mueller H. Allergenicity of alpha-caseins from cow, sheep, and goat. Allergy. 1997;52(3):293-298
- Restani P, Gaiaschi A, Plebani A, et al. Crossreactivity between milk proteins from different animal species. Clin Exp Allergy. 1999;29(7):997-1004
- Bellioni-Businco B, Paganelli R, Lucenti P, Giampietro PG, Perborn H, Businco L. Allergenicity of goat’s milk in children with cow’s milk allergy. J Allergy Clin Immunol. 1999; 103(6):1191-1194
- Pessler F, Nejat M. Anaphylactic reaction to goat’s milk in a cow’s milk-allergic infant. Pediatr Allergy Immunol. 2004;15(2):183-185
- Wu¨ thrich B, Johansson SGO. Allergy to cheese produced from sheep’s and goat’s milk but not to cheese produced from cow’s milk. J Allergy Clin Immunol. 1995;96(2):270-273
- Calvani M, Alessandri C. Anaphylaxis to sheep’s milk cheese in a child unaffected by cow’s milk protein allergy. Eur J Pediatr. 1998; 157(1):17-19
- Martins P, Borrego LM, Pires G, Pinto PF, Afonso AR, Rosado-Pinto J. Sheep and goat’s milk allergy: a case study. Allergy. 2005; 60(1):129-130
- Umpie´ rrez A, Quirce S, Maran˜ o´n F, et al. Allergy to goat and sheep cheese with good tolerance to cow cheese. Clin Exp Allergy. 1999;29(8):1064-1066
- Ah-Leung S, Bernard H, Bidat E, et al. Allergy to goat and sheep milk without allergy to cow’s milk. Allergy. 2006;61(11):1358-1365
- Ziegler DS, Russel SJ, Rozenberg G, James CA, Trahair TN, O’Brien TA. Goats’ milk quackery. J Paediatr Child Health. 2005; 41(11):569-571
- Harrison ME, Hilliard RI. You look like you’ve seen a goat. Paediatr Child Health. 2007; 12(5):389-391
- Collins RA. Goat’s milk anemia in retrospect. Am J Clin Nutr. 1962;11:169-170
- Water soluble vitamins. In: Kleinman RE, ed. Pediatric Nutrition Handbook. 6th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2009:483
- Sacks JJ, Roberto RR, Brooks NF. Toxoplasmosis infection associated with raw goat’s milk. JAMA. 1982;248(14):1728-1732
- Serbezov VS, Kazar J, Novkirishki V, Gatcheva N, Kovacova E, Voynova V. Q fever in Bulgaria and Slovakia. Emerg Infect Dis. 1999;5(3):388-394
- Benjamin B, Annobil SH. Childhood brucellosis in southwestern Saudi Arabia: a 5-year experience. J Trop Pediatr. 1992;38(4):167-172
- Canada Communicable Disease Report 2002: Escherichia coli O157 outbreak associated with the ingestion of unpasteurized goat’s milk in British Columbia, 2001. Available at: www.phac-aspc.gc.ca/publicat/ccdr-rmtc/02vol28/dr2801eb.html. Accessed December 22, 2009
- Bielaszewska M, Janda J, Bla´ hova´ K, et al. Human Escherichia coli O157:H7 infection associated with the consumption of unpasteurized goat’s milk. Epidemiol Infect. 1997; 119(3):299-305
- Grant C, Rotherham B, Sharpe S, et al. Randomized, double-blind comparison of growth in infants receiving goat milk formula versus cow milk infant formula. J Paediatr Child Health. 2005;41(11):564-568.
KLINIK PRAKTIK YANG BARU (PINDAH TEMPAT)
Mulai 24 Oktober 2010
MELINDA HOSPITAL BANDUNG [ peta lokasi ]
Jl. Pajajaran No.46 Bandung Telp. (022) 4222 788 - 4222 388
SENIN, RABU, JUMAT jam: 18.00-selesai
SANTOSA HOSPITAL BANDUNG [ peta lokasi ]
Jl. Kebonjati no.38 Bandung Telp. (022) 4248 333
SELASA dan KAMIS jam: 18.00-selesai, SABTU jam 14.00-selesai
Mulai 24 Oktober 2010
MELINDA HOSPITAL BANDUNG [ peta lokasi ]
Jl. Pajajaran No.46 Bandung Telp. (022) 4222 788 - 4222 388
SENIN, RABU, JUMAT jam: 18.00-selesai
SANTOSA HOSPITAL BANDUNG [ peta lokasi ]
Jl. Kebonjati no.38 Bandung Telp. (022) 4248 333
SELASA dan KAMIS jam: 18.00-selesai, SABTU jam 14.00-selesai
ACARA DIALOG SEKS "BUKA PINTU"
Simak dialog seks dr. Hanny dalam program "BUKA PINTU" [Streaming Online di sini]
di Radio Mara FM 106.7 Mhz Bandung, setiap hari Selasa, jam 22.00-24.00
Telp interaktif: 022 - 7305244 atau SMS ke 0855 212 1067
Simak dialog seks dr. Hanny dalam program "BUKA PINTU" [Streaming Online di sini]
di Radio Mara FM 106.7 Mhz Bandung, setiap hari Selasa, jam 22.00-24.00
Telp interaktif: 022 - 7305244 atau SMS ke 0855 212 1067
KONSULTASI ONLINE
Untuk berkonsultasi silahkan kirimkan via email ke:
dokter.hanny@gmail.com atau klik [ di sini ]
Jawaban akan di-email balik dan identitas terjamin kerahasiaannya.
Untuk berkonsultasi silahkan kirimkan via email ke:
dokter.hanny@gmail.com atau klik [ di sini ]
Jawaban akan di-email balik dan identitas terjamin kerahasiaannya.