BIOGRAFI

BIOGRAFI
Sejarah dan Profil Keseharian

KOLEKSI BUKU

KOLEKSI BUKU
Buku-buku yang pernah dirilis

TIPS BERMANFAAT

TIPS BERMANFAAT
Kumpulan Tips-tips Bermanfaat

TANYA JAWAB

TANYA JAWAB
Konsultasi bersama dokter Hanny

Animasi Slider

Pencegahan Haid, Kehamilan dan Pengguguran Kandungan Menurut Kalangan Ulama Salafi

11 October 2010


Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dalam kitabnya Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisa' menguraikan bagaimana pandangan para ulama Salafi berkenaan "Penggunaan Alat Pencegah atau Perangsang Haid, Pencegah Kehamilan, Penggugur Kandungan":



PENCEGAH HAID

Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid, tapi dengan 2 syarat:

  1. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. Bila dikhawatirkan membahayakan dirinya karena menggunakan alat tersebut, maka hukumnya tidak boleh. Berdasarkan firman Allah Ta 'ala:

    "...Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..."
    [Q.S. al-Baqarah 2:195]


    "...Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu."
    [Q.S. an-Nisaa' 4:29]



  2. Dengan seijin suami, apabila penggunaan alat tersebut mempunyai kaitan dengannya. Contohnya, si istri dalam keadaan ber-iddah dari suami yang masih berkewajiban memberi makan kepadanya, menggunakan alat pencegah haid supaya lebih lama masa iddah-nya dan bertambah nafkah yang diberikannya. Hukumnya, tidak boleh bagi si istri menggunakan alat pencegah haid saat itu kecuali dengan ijin suami.

Demikian pula jika terbukti bahwa pencegahan haid dapat mencegah kehamilan, maka harus dengan seijin suami.

Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu.

Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.




PERANGSANG HAID

Diperbolehkan juga penggunaan alat perangsang haid, dengan 2 syarat:

  1. Tidak menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan diri dari suatu kewajiban. Misalnya, seorang wanita menggunakan alat perangsang haid pada saat menjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa, atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.

  2. Dengan seijin suami karena terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan hubungan suami istri. Maka tidak boleh bagi si istri menggunakan alat yang dapat menghalangi hak sang suami kecuali dengan restunya. Dan jika si istri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurnya hak rujuk bagi sang suami jika ia masih boleh rujuk



PENCEGAH KEHAMILAN

Ada 2 macam penggunaan alat pencegah kehamilan:

  1. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk selamanya. Ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah ketunaan Dan hal ini bertentangan dengan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wasalam (saw.) agar memperbanyak jumlah umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.

  2. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan sementara. Contohnya, seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengatur jarak kehamilannya menjadi dua tahun sekali. Maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat harus seijin suami dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya. Dalilnya, bahwa para sahabat pernah melakukan 'Azl terhadap istri mereka pada jaman Nabi saw. untuk menghindari kehamilan dan Nabi saw. tidak melarangnya. 'Azl yaitu tindakan -pada saat bersenggama- dengan menumpahkan sperma di luar Farji (vagina) si istri.


PENGGUGUR KANDUNGAN

Adapun penggunaan alat penggugur kandungan, ada 2 macam:

  • Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan janin. Jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak syak lagi adalah haram, karena termasuk membunuh jiwa yang dihormati tanpa dasar yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut al-Qur'an, Sunnah dan Ijma' kaum Muslimin.

    Namun, jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang.

    Ada pula yang mengatakan boleh sebelum berbentuk darah,artinya sebelum berumur 40 hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk manusia.

    Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan tindakan menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan. Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya.

    Dalam kondisi seperti ini, ia boleh menggugurkan kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah berbentuk manusia maka tidak boleh. Wallallahu A'lam.


  • Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada wanita hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak membahayakan bagi si ibu maupun anaknya dan tidak memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada 4 hal:

  1. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti: sulit bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi.

    Hal itu demikian, karena tubuh adalah amanat Allah yang dititipkan kepada manusia, maka dia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang amat besar.

    Selain itu dikiranya bahwa mungkin tidak berbahaya operasi ini, tapi ternyata membawa bahaya.


  2. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.


  3. Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk mengluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan membahayakan si ibu. Sebab, menurut pengalaman -Wallallahu a'lam- bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan operasi.

    Kalapun dibiarkan terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan si ibu pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tak bersuami jika ia dalam keadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.


  4. Jika si ibu meninggal, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini, jika bayi yang dikandung diperkirakan tak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi.

    Namun, jika ada harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut.

    Tetapi, jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar, maka ada yang berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya, karena hal itu merupakan tindakan penyiksaan.

    Yang benar, boleh dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah. Dikatakan dalam kitab al-Inshaf, "Pendapat ini yang lebih utama".

    Apalagi pada jaman sekarang ini,operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan, karena setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan kehormatan orang yang masih hidup lebih besar daripada orang yang sudah meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya.

Wallahu a'lam.

PERHATIAN:
Dalam hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur kandungan sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses kelahiran), harus ada ijin dari pihak pemilik kandungan, yaitu suami.


PENUTUP

Sampai di sinilah apa yang ingin kami tulis dalam judul segala cabang dan bagian masalah serta apa yang terjadi pada wanita dalam permasalahan ini bagai samudera tak bertepi.

Namun, orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan cabang dan bagian permasalahan kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat meng-Qiyas-kan segala sesuatu dengan yang semisalnya.

Perlu diketahui oleh Mufti (pemberi fatwa), bahwa dirinya adalah penghubung antara Allah dan para hamba-Nya dalam menyampaikan ajaran yang dibawa Rasul-Nya dan menjelaskannya kepada mereka. Dia akan ditanya tentang kandungan al-Qur'an dan Sunnah, yang keduanya merupakan sumber hukum yang diperintahkan untuk dipahami dan diamalkan.

Setiap yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah adalah salah, dan wajib ditolak siapapun orang yang mengucapkannya serta tidak boleh diamalkan, sekalipun orang yang mengatakannya mungkin dimaafkan karena ber-ijtihad dan mendapat pahala atas ijtihad-nya, tetapi orang lain yang mengetahui kesalahannya tidak boleh menerima ucapannya.

Seorang Mufti wajib memurnikan niatnya, semata-mata karena Allah Ta'ala, selalu memohon Ma'unah-Nya dalam segala kondisi yang dihadapi, meminta ke hadirat-Nya ketetapan hati dan petunjuk kepada kebenaran.

Al-Qur'an dan Sunnah wajib menjadi pusat perhatiannya. Dia mengamati dan meneliti keduanya atau menggunakan pendapat para ulama untuk memahami keduanya.

Sering terjadi suatu permasalahan, ketika jawabannya dicari pada pendapat para ulama tak didapati ketenangan atau kepuasan dalam keputusan hukumnya, bahkan mungkin tidak diketemukan jawabannya sama sekali. Akan tetapi setelah kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah tampak baginya hukum permasalahan itu dengan mudah dan gamblang. Hal itu sesuai dengan keikhlasan, keilmuan dan pemahamannya.

Wajib bagi Mufti bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan hukum manakala mendapatkan sesuatu yang rumit. Betapa banyak hukum yang diputuskan secara tergesa-gesa, kemudian setelah diteliti ternyata salah. Akhirnya hanya bisa menyesali dan mungkin fatwa yang terlanjur disampaikan tidak bisa diluruskan.

Seorang Mufti jika diketahui bersikap hati-hati dan teliti, ucapanmya akan dipercaya dan diperhatikan. Tetapi jika dikenal ceroboh yang seringali membuat kekeliruan, niscaya fatwanya tidak akan dipercaya orang. Maka dengan kecerobohan dan kekeliruannya dia telah menjauhkan dirinya dan orang lain dari ilmu dan kebenaran yang diperolehnya.

Semoga Allah Ta'ala menunjukkan kita dan kaum Muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan.

Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita, Muhammad saw., juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan.


PENULIS:
Muhammad Shalih al-Utsaimin
Jum’at, 14 Sya’ban 1392H


[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisa' Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita hal 58 - 64 terbitan Darul Haq, Penerjemah Muhammad Yusuf Harin. MA]


Dipublikasikan oleh situs almanhaj.or.id

KLINIK PRAKTIK YANG BARU (PINDAH TEMPAT)
Mulai 24 Oktober 2010

MELINDA HOSPITAL BANDUNG [ peta lokasi ]
Jl. Pajajaran No.46 Bandung Telp. (022) 4222 788 - 4222 388
SENIN, RABU, JUMAT jam: 18.00-selesai

SANTOSA HOSPITAL BANDUNG [ peta lokasi ]
Jl. Kebonjati no.38 Bandung Telp. (022) 4248 333
SELASA dan KAMIS jam: 18.00-selesai, SABTU jam 14.00-selesai

ACARA DIALOG SEKS "BUKA PINTU"
Simak dialog seks dr. Hanny dalam program "BUKA PINTU" [Streaming Online di sini]
di Radio Mara FM 106.7 Mhz Bandung, setiap hari Selasa, jam 22.00-24.00
Telp interaktif: 022 - 7305244 atau SMS ke 0855 212 1067

KONSULTASI ONLINE
Untuk berkonsultasi silahkan kirimkan via email ke:
dokter.hanny@gmail.com atau klik [ di sini ]
Jawaban akan di-email balik dan identitas terjamin kerahasiaannya.

Berlangganan Artikel Dokter Hanny


Related Posts with Thumbnails